Sesungguhnya adanya pinjam-meminjam tersebut bermaksud untuk
mendekatkan hubungan kesetiakawanan antara sesama muslim dan sebagai bentuk
pertolongan kepada orang-orang yang memang membutuhkan pertolongan. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah keberlangsungan hidup diantara sesama muslim, bukan
sebagai sarana untuk mencari atau mengais rezeki apalagi dijadikan sarana untuk
memperdayai orang lain.
Dengan demikian tidak boleh bagi sang peminjam mengembalikan pinjamannya kepada debitur, melainkan ia harus mengembalikan barang yang ia pinjam sebelumnya atau mengembalikan dengan barang yang serupa dan tidak menambahnya. Karena ada sebuah qoidah fikih yang berbunyi,
كل قرض جر نقعا فهو ربا
“Setiap pinjaman yang yang difungsikan untuk mendatangkan manfaat, maka itu termasuk riba.”
Larangan disini bersifat muqayad, artinya setiap manfaat yang ada karena kesepakatan antara kedua belah pihak dan diketahui bersama. Tapi jika kreditur tidak mensyaratkan hal tersebut atau tidak memberitahukannya. Maka diperbolehkan bagi debitur untuk mengembalikan pinjaman tersebut dengan sesuatu yang lebih baik atau melebihkannya. Dan bagi kreditur tidak mengapa menerima yang demikian itu dan hukumnya tidak makruh.
Hal ini sebagaimana telah dilakukan rosulullah r kepada Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim bahwa Jabir bin Abdullah pernah berkata,
كان لي على رسول الله حق فقضاني وزداني
“(Ketika itu), Rosulullah r mempunyai hak yang harus dipenuhi terhadap diriku, kemudian beliau menunaikan hak tersebut dan memberikannya kepadaku dengan melebihkan (kembaliannya).” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Dengan demikian pedoman yang dipakai dalam hal ini ialah setiap pinjaman yang didalamnya diberlakukan syarat, yaitu harus ada tambahan ketika barang dikembalikan, maka hukumnya haram. Ibnu mundzir pernah berkata, Para ulama telah sepakat, jika seorang yang kreditur membuat syarat kepada debitur, supaya menambah pengembalian barang yang ia pinjamkan, maka ini termasuk riba.
Dan hal ini serupa dengan fatwanya Dr.Yusuf Qaradawi, ketika beliau ditanya tentang seseorang yang memberi pinjaman uang sebanyak seribu dirham kepada orang lain dan dalam jangka waktu tertentu orang yang berhutang mengembalikan utang itu sebesar seribu seratus atau seribu dua ratus dirham. Apakah perbuatan ini termasuk riba?
Beliau menjawab, Tidak ada perbedaan antara emas, perak atau uang kertas. Dalam bermuamalah, uang kertas dalam hal ini menduduki posisi emas dan perak dalam muamalah, karena itu hukumnya haram bila dikelola secara riba. Saya tidak melihat adanya alasan untuk meragukan hal ini. Maka barang siapa mengambil bunga atas uang kertas atau memberi bunga, maka ia telah memasuki wilayah hukum riba yang diharamkan dan diancam akan diperangi oleh Allah I dan Rosulnya.
Dan
barang siapa yang bersekutu dalam akad riba ini dia terkutuk menurut lisan Nabi
Muhamad r yang telah melaknat pemakan hasil riba, yang menulisnya dan yang menjadi
saksi.
Semoga bahagia dengan Chocordan Mami Muda ya
No comments:
Write komentar